Sekadau (Suara Lawang Kuari) – Sejarah panjang Kerajaan Kusuma Negara Sekadau menjadi salah satu warisan penting yang menandai perjalanan peradaban dan kebudayaan masyarakat di Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Sekadau. Berdiri sekitar tahun 1950–1952 di Jalan Sultan Anum, Desa Mungguk Kecamatan Sekadau Hilir, kerajaan ini memiliki akar sejarah yang jauh lebih tua, menelusuri silsilah hingga ke masa Prabu Syakbulun—atau dikenal pula sebagai Raja Uluwai.
Keraton Kusuma Negara di Sekadau
Pangeran Bendahara Kusuma Negara, Abang Mohd Firman (37), menjelaskan bahwa kisah berdirinya Kerajaan Kusuma Negara Sekadau berawal dari perjalanan panjang para leluhur yang bermukim di persimpangan besar Sungai Kapuas. Dari wilayah itu, Prabu Syakbulun kemudian berpindah ke Labai Lawai hingga ke hulu Sungai Keriau.
“Dalam sastra lisan, disebutkan bahwa peninggalan sejarah berupa prasasti batu bertulis di Nanga Majapahit, yang diperkirakan berasal dari abad ke-6 hingga ke-7 Masehi, menjadi bukti eksistensi awal dari kerajaan yang didirikan oleh Prabu Syakbulun,” ungkap Abang Firman, Jumat (24/10/2025).
Memasuki abad ke-16, tepatnya sekitar tahun 1616 Masehi, keturunan Prabu Syakbulun terus memerintah di wilayah Sekadau. Setelah wafatnya Abang Kanderang, tahta kerajaan kemudian dipegang oleh Pangeran Agung Prabu Baya. Selanjutnya, Pangeran Engkong memimpin di daerah Kematu, sekitar 3 kilometer dari Rawak. Pergantian kekuasaan antara masa Abang Kanderang hingga Pangeran Engkong diperkirakan terjadi antara tahun 1600 hingga 1780 Masehi.
Dari garis keturunan berikutnya, Pangeran Kusuma atau Pangeran Suma Negara memiliki seorang putra bernama Abang Todong, yang kelak bergelar Sultan Anum Muhammad Kamarudin dan memerintah pada tahun 1830–1860 Masehi. Pada masa pemerintahannya, Sultan Anum dikenal sebagai tokoh yang membawa kemajuan bagi penyebaran Islam di Sekadau. Ia merenovasi Masjid Jami’at Taqwa, yang hingga kini masih berdiri sebagai salah satu simbol sejarah dan spiritual masyarakat Sekadau.
Kekerabatan antar-kerajaan juga terjalin pada masa itu. Dayang Emah, saudara Sultan Anum, menikah dengan Pangeran Laksamana dari Sepauk, sementara saudara lainnya menikah dengan bangsawan dari Kerajaan Matan Tanjungpura di Ketapang. Hubungan kekerabatan ini memperkuat jaringan sosial dan politik antarkerajaan di Kalimantan Barat.
Setelah Sultan Anum wafat pada tahun 1861, kekuasaan sempat dipegang oleh Abang Ipong (Abang Muhammad Ali) yang bergelar Pangeran Ratu. Namun tidak lama kemudian, Sultan Mansur Kusuma Negara, putra Sultan Anum, naik tahta pada tahun 1861 hingga 1867 Masehi. Kepemimpinan Sultan Mansur ini tercatat resmi dalam dokumen Besluit Government Hindia Belanda tahun 1860, yang hingga kini masih tersimpan di Keraton Sekadau dan Nanga Taman.
Hingga saat ini, jejak peninggalan para sultan masih lestari. Di belakang Keraton Kusuma Negara Sekadau, berdiri makam Sultan Anum Muhammad Kamarudin, Putri Ema, dan Sultan Mansur Kusuma Negara, yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah panjang kerajaan ini.
Sepeninggalan Sultan Mansur, kekuasaan dilanjutkan oleh Gusti Mekah (1867–1902), adik dari Sultan Anum. Sementara itu, Abang Usman, putra Sultan Mansur, dibawa oleh ibundanya ke Sintang, dan kemudian ke Nanga Taman oleh pamannya. Dari keturunan inilah, juriat (keturunan) Sultan Mansur Kusuma Negara masih bertahan dan menetap di Nanga Taman hingga hari ini.
“Kerajaan Kusuma Negara bukan hanya peninggalan sejarah, tetapi juga identitas dan kebanggaan masyarakat Sekadau. Dari sinilah kita belajar tentang kearifan, kepemimpinan, dan hubungan antarbangsa di masa lampau,” tutup Pangeran Bendahara Kusuma Negara, Abang Mohd Firman. [tim]